Sebagai orang tua kedua di sekolah, guru tentunya mempunyai andil yang tidak sedikit terhadap perkembangan kepribadian peserta didik. Untuk itu sudah selayaknya guru selalu melakukan instropeksi guna meningkatkan komptensi dan karakter positif.
Dalam menjalankan tugasnya guru mempunyai style atau gaya yang berbeda-beda. Gaya seorang guru dipengaruhi oleh karakter guru yang terbentuk dari pengalamn hidup yang ia alami. Tidak jarang guru dalam mengajar terpengaruh oleh gaya mengajar guru saat yang bersangkutan duduk di bangku sekolah. Bahkan tak jarang dari ungkapan, hardikan atau gaya berpakainpun sering terpengaruh oleh guru idolanya. Hal ini tidak menjadi masalah jika guru yang ditiru adalah guru dengan karakter mengajar positif namun jika guru yan dijadikan model peniruan adalah guru dengan karakter negatif tentunya sangat merugikan peserta didik.
Marjohan dalam bukunya yang berjudul “ School Healing” , membagi karakter atau tipe mengajar guru menjadi empat tipe. Adapun keempat tipe tersebut adalah, otoriter,pseudo-demokrasi, laizzes-faire dan demokratis. Meskipun demikian pembagian tipe guru ini tidak mutlak. Tentunya ada guru dengan tipe kombinasi kempat tipe tersebut.
Guru yang menerapkan tipe mengajar otoriter cenderung memperlihatkan kekuasaan yang mutlak atas peserta didik. Guru tipe ini menganggap bahwa ruang kelas adalah wilayah kekuasaannya yang tidak dapat diusik oleh siapapun khususnya oleh siswa.Bagi siswa diajar oelh guru tipe ini bak berada mimpi buruk , jam pelajaran terasa berjalan lambat. Memang dengan gaya otoriter kelas kelihatan “tenang, teratur dan tertib”. Namun dibalik ketenangan dan ketertiban yang ada, tersimpan kegelisahan peserta didik yang tidak sabar untuk berakhirnya pelajaran. Guru dengan tipe otoriter akan menajaga imej, memasang muka mengesankan berwibawa dengan “kikir” terhadap senyuman dan pelit kata-kata yang menyejukkan. Suasana kelas terasa angker dan menegangkan, hardikan dan amarah menjadi selingan yang tak terlupakan. Guru dengan tipe mengajar otoriter berpotensi menciptakan peserta didik yang penakut dan pembisu. Selayaknya orang dengan karakter otoriter tampaknya tidak sepantasnya berprofesi sebagai guru. Dengan gayanya yang otoriter tentunya akan dapat membunuh potensi-otensi positif siswa yang seharusnya diberi ruang untu berkembang. Apalagi jika sang guru mengajar di tingkat pendidikan dasar kususnya SD. Guru yang demikian akan menggoreskan pengalaman traumatik bagi peserta didik, yang selanjutnya berpotensi membuat peserta didik akan terkredilkan perkembangan mentalnya.
Karakter lain dari seorang guru adalah guru yang menerapkan pseudo-demokrasi. Guru dengan karakter ini berusaha mengesankan sebagai guru demokratis. Guru tipe ini seolah-olah mengakomodir saran-saran dan penddapat siswa, namun kenyataannya saran atau pendapat siswa
Hanya sebagai pemanis belaka sebab pada akhirnya pendapat sang gurulah yang akan digunakan. Guru tipe ini cenderung memonopoli kekuasaan. Awalnya sikap guru mengesankan peserta didik namun selanjutnya peserta didik menjadi kurang simpatik setelah mengetahui karakter sang guru sesungguhnya.
Guru dengan karakter lizzes –faire ( masa bodoh ) cenderung menurunkan kualitas sekolah. Dengan prinsip mengajar bentuk menggugurkan kewajiban, guru tipe ini cenderung tdak peduli terhadap lingkungan sekolah. Bagi guru dengan tipe ini adalah setelah selesai mengajar maka selesai sudah tugas ia sebagai guru, untuk selanjutnya ia akan segera pulang ke rumah.Guru tipe ini menganggap sekolah bak terminal persinggahan semata. Dengan sikap masa bodohnya sering kurang peduli akan tugas-tugasnya sebagai pendidik yang tidak hanya mengajar semata.
Tipe guru yang selanjutnya adalah tipe guru yang demokratis. Tipe guru semacam ini memiliki hati nurani yang tajam. Ia berusah mengajar dengan hati. Dengan wawasan yang ia miliki, berusaha memberi ketenangan hati dan tanpa lelah memotivasi peserta didik. Guru tipe ini memberi ruang kepada peserta didik untuk memaksimalkan berkembangnya potensi positif pada dirinya.Figur guru semacam ini akan selalu dikenang oleh peserta didik sepanjang hayatnya.
Sebagai orang tua kedua di sekolah, guru tentunya mempunyai andil yang tidak sedikit terhadap perkembangan kepribadian peserta didik. Untuk itu sudah selayaknya guru selalu melakukan instropeksi guna meningkatkan komptensi dan karakter positif. Dan tidak ada salahnya untuk terbuka terhadap kritik baik dari sesama guru atau bahkan dari peserta didik. Tentunya untuk menjadi guru dengan karakter positif bukanlah sesuatu yang mudah, perlu membuka diri untuk selalu meningkatkan potensi . Usaha terus menerus dengan selalu meningkatkan komptensi baik melalui berbagi bacaan, pelatihan ,ataupun sharing dengan teman sejawat tentunya sangat dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar